Kamis, 27 November 2014

PROSES PENGOLAHAN LIMBAH PLASTIK MENGGUNAKAN MESIN EKSTRUSI

Sampah plastik adalah bahan buangan yang terbuat dari plastik yang sudah tidak terpakai dan tidak bermanfaat lagi bagi kehidupan manusia. Sampah plastik dapat menjadi berguna kembali setelah sampah plastik tersebut didaur ulang.
Daur ulang plastik adalah melakukan proses dasar daur ulang untuk mengolah sampah plastik menjadi pellet atau bijih plastik yang merupakan bahan dasar pembentuk plastik menurut produk yang diinginkan. Dalam proses ini, jenis bahan baku yang digunakan menentukan jenis bijih plastik yang dihasilkan.
Bahan baku daur ulang dengan kualitas satu merupakan plastik yang belum pernah didaur ulang sebelumnya atau hanya pernah sekali saja didaur ulang.
Berdasarkan warna dan struktur kimia plastik:
LPDE neutral (kantong dan lembaran plastik berwarna putih maupun transparan).
LPDE black (kantong dan lembaran plastik berwarna hitam maupun sedikit campuran warna yang lain)
LLDPE
Produk yang dihasilkan melalui proses daur ulang berupa pellet atau bijih plastik dengan ukuran 4-6 mm.
Tahapan proses daur ulang digolongkan menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Bagian proses sortir bahan baku yang  menggunakan tenaga manusia.
Bagian proses yang menggunakan mesin sortir
merupakan proses pemisahan yang pertama kali dilakukan. Pada proses ini dilakukan  pekerjaan untuk memisahkan bahan baku yang datang dan membuang material/ benda asing yang tidak diharapakan masuk ke dalam proses.
1. PEMOTONGAN
Proses ini dilakukan untuk mengurangi ukuran material dan mempermudah  proses selanjutnya, dengan cara memotong atau merajang plastik dalam bentuk asalnya (kantong atau lembaran plastik).
2. PENCUCIAN
Tujuan : agar tidak menggangu proses penggilingan.
Terdiri dari 2 tahap, yaitu:
     1. Prewashing
Untuk memisahkan material-material asing terutama agar tidak ikut dalam proses selanjutnya menggunakan media cair sebagai sarana untuk  mencuci material dan membawa material asing keluar dari proses.
     2.  Pencucian Tahap 2
Menggunakan mesin friction water. Material dicuci kembali oleh ulir menanjak yang berputar pada putaran tinggi sehinggga hasil dari friksi dapat melepaskan material asing yang masih terdapat pada bahan. Masih menggunakan media air untuk membawa material asing keluar dari proses.
3. PENGERINGAN
Secara mekanik yaitu dengan memeras material dengan gerakan memutar sehingga air dapat keluar
Dengan menguapkan air pada suhu tertentu agar bahan benar-benar terbebas dari suhu yang melekat
4. PEMANASAN
Material yang telah bersih dari pengotor dilelehkan dengan proses pemanasan material pada suhu 2000
Suhu panas dihasilkan oleh heater.
Selanjutnya lelehan dialirka untuk menuju proses penyaringan
5. PENYARINGAN
Dilakukan dengan lembaran besi yang dilobangi sebesar kira-kira 4mm di seluruh permukaannya.
Diharapkan lelehan plastik akan melewati saringan ini untuk menghasilkan lelehan plastik berbentuk silinder panjang yang nantinya akn dipotong-potong.
6. PENDINGINAN
Setelan berbentuk silinder, material dilewatkan pada air dingin sebagai media pendingin.
7. PENCETAKAN/ PENGGILINGAN
Pencetakan bijih plastik dilakukan dengan membentuk lelehan plastik menjadi berbentuk mie dengan diameter 4 mm.
8. PEMBUNGKUSAN
Dilakukan [embungkusan terhadap material kering dalam karung plastik
Pemeriksaan untuk mengetahui apakah proses produksi berjalan baik.
1.1       PROSES PEMBUATAN KANTONG PLASTIK
Pembuatan kantong plastik menggunakan metode ekstruksi. Pellet (bijih besi) dimasukkan lewat corong, kemudian didorong ke screw baja dan dialirkan di sepanjang bejana barrel untuk dipanaskan. Pada ujung ekstruder, lelehan melalui die untuk menghasilkan ekstrudat dengan bentuk sesuai keinginan.
BAGIAN – BAGIAN SCREW
Bagian umpan berlekuk saluran terdalam.
Bagian kompresi berfungsi untuk melelehkan, mencampur, dan mengempa resin, serta mendorong balik udara yang terikut ke bagian umpan.
Bagian metering memberi tekanan balik dan mengukur penyaluran lewat diesehingga output seragam dan terkontrol.

1.1.1 PERSIAPAN BAHAN
Dilakukan pengujian MFI (Melt Flow Index) untuk menguji viskositas material. Semakin tinggi berat molekul material maka semakin rendah nilai MFInya. Bahan dengan nilai MFI kecil akan membutuhkan suhu yang lebih besar untuk kemudahan alirannya. Jika bahan baku yang digunakan adalah pellet atau bijih plastik hasil daur ulang maka pengujian MFI tidak diperlukan. Material yang digunakan tidak murni dan tidak diketahui komposisi yang sebenarnya. Untuk menghasilkan produk yang baik, langkah yang dilakukan adalah trial and error dan pengontrolan yang intens.
1.1.2 PENCAMPURAN
Bijih plastik yang sudah dipersiapkan dicampurkan dengan zat aditif yaitu pigmen sebagai pewarna kantong plastik nantinya. Pencampuran dilakukan dengan mixer dalam tabung mixer.
1.1.3 PENGERINGAN PELLET
Proses pengeringan dilakukan terhadap campuran homogen pellet dan pigmen menggunakanoven dryer. Material dimasukkan ke dalam oven, selanjutnya oven dryer ditutup dan diset pada temperatur sesuai kebutuhan dan sesuai material yang sedang dikeringkan.

1.1.4 PENCAMPURAN KERING DAN PENCAMPURAN PANAS
Pencampuran Kering (Dry Blending)
Pencampuran antara material bijih plastik dengan aditif yang digunakan menjadi homogen tanpa menggunakan panas dan kontak hanya terjadi pada permukaan saja.
Pencampuran Panas (Hot Blending)
Proses Pencampuran antara material bijih plastik dengan aditif agar menjadi homogen menggunakan panas untuk memperoleh dispersi panas yang lebih baik. Beberapa alat yang menggunakan prinsip ini adalah extruder, banbury mixer, dan granulator.
1.1.5 PEMBUATAN KANTONG PLASTIK
Campuran plastik yang sudah melalui proses ekstrusi dengan menggunakan ekstruder yang dilengkapai dengan die akan membentuk lembaran plastik berbentuk tabung. Pembuatan lembaran plastik ini menggunakan air cooling ring(pendingin). Lembaran – lembaran ini kemudian digulung baru dimasukkan dalam mesin cetak untuk membentuk kantong plastik

Jumat, 14 November 2014

Pemanfaatan Limbah Kaleng

Metode Pemilihan dalam Kinerja AMDAL
Pemanfaatan Limbah Kaleng
Kaleng adalah lembaran baja yang disalut timah. Bagi orang awam, kaleng sering diartikan sebagai tempat penyimpanan atau wadah yang terbuat dari logam dan digunakan untuk mengemas makanan, minuman, atau produk lain. Dalam pengertian ini, kaleng juga termasuk wadah yang terbuat dari aluminium.
Kaleng timah (tin can) merupakan pengembangan dari penemuan Nicolas Appert pada dasawarsa 1800-an. Produk ini dipatenkan oleh seorang berkebangsaan Inggris, Peter Durand pada 1810. Berkat penemuan produksi massal, pada akhir abad ke-19, kaleng timah menjadi standar produk konsumen. Timah dipilih karena relatif tidak beracun dan menambah daya tarik kemasan karena berkilat dan tahan karat.
Kaleng juga merupakan lembaran baja yang disalut timah (Sn) atau berupa wadah yang dibuat dari baja dan dilapisi timah putih tipis dengan kadar tidak lebih dari 1,00-1,25% dari berat kaleng itu sendiri. Terkadang lapisan ini dilapisi lagi oleh lapisan bukan metal yaitu untuk mencegah reaksi dengan makanan ataupun minuman di dalamnya. Kelebihan menonjol dari kemasan ini adalah bisa dilakukannya proses sterilisasi, sehingga makanan yang disimpan di dalamnya menjadi steril, tidak mudah rusak, dan awet. Dan pengertian dari baja adalah logam alloy yang komponen utamanya adalah besi (Fe), dengan karbon sebagai material pengalloy utama. Baja dengan peningkatan jumlah karbon dapat memperkeras dan memperkuat besi, tetapi juga lebih rapuh.
Definisi klasik, baja adalah besi-karbon alloy dengan kadar karbon sampai 5,1 persen; ironisnya, alloy dengan kadar karbon lebih tinggi dari ini dikenal dengan besi (Fe). Definisi yang lebih baru, baja adalah alloy berdasar besi yang dapat dibentuk secara plastik.Pada kaleng, daya ketahanan timah terhadap korosi juga tidak sempurna, akan tetapi terhadap reaksi dengan makanan di dalamnya lebih lambat dibandingkan dengan baja. Bagi orang awam, kaleng sering diartikan sebagai tempat penyimpanan atau wadah yang terbuat dari logam dan digunakan untuk mengemas makanan,minuman, atau produk lain. Dalam pengertian ini, kaleng juga termasuk wadah yang terbuat dari aluminium (Al). Kaleng timah (tin can) merupakan pengembangan dari penemuan Nicolas Francois Appert pada dasawarsa 1800-an. Produk ini dipatenkan oleh seorang berkebangsaan Inggris, Peter Durand pada 1810. Berkat penemuan produksi massal, pada akhir abad ke-19, kaleng yang berbahan dasar timah (Sn) menjadi standar produk konsumen. Produk-produk makanan maupun minuman yang biasanya mengalami proses pengalengan ataupun menggunakan kaleng sebagai tempat (wadahnya) adalah produk-produk yang disterilisasi dengan panas.
Dalam kemasan kaleng, makanan dapat dipanaskan hingga suhu yang sangat tinggi dan tekanan yang tinggi pula. Dengan demikian semua mikroba yang hidup bersama makanan tersebut akan mati. Karena kaleng juga ditutup dengan sangat rapat, maka mikroba baru tidak akan bisa masuk kembali ke dalamnya. Oleh karena itu makanan kaleng dapat disimpan hingga dua tahun dalam keadaan baik, tidak busuk, dan tidak beracun. Semua jenis makanan bisa dikemas didalam kaleng. Mulai dari daging, susu, ikan, sayuran, buah-buahan dan makanan olahan seperti sosis, bumbu nasi goreng hingga sayur lodeh. Kini kita bisa menyaksikan berbagai jenis makanan yang dikemas di dalam kaleng ada di warung atau toko kelontong (pasar tradisional) dan supermarket atau swalayan. Merknyapun bermacam-macam, baik produksi dalam negeri maupun impor. Jadi, umur tempat jalannya reaksi panas makanan selama penyimpanan ditentukan oleh daya tahan kaleng terhadap korosi.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi besarnya korosi pada kaleng bagian dalam, diantaranya :
Tingginya sisa oksigen dalam makanan.
Adanya akselator korosi, seperti Nitrat dan senyawa Sulfur lainnya.
pH makanan dalam kaleng
Suhu dan lama penyimpanan
Jenis kaleng dan lapisan penahan korosi
Biasanya besarnya korosi di bagian luar akan lebih mudah terkontrol, hal tersebut dikarenakan oleh :
Komposisi air pendingin (mengandung klor, melarutkan garam, dsb).
Ketipisan lapisan timah dan jenis kaleng yang digunakan.
Sedangkan untuk bagian dalam kaleng dihindarkan dari terjadinya karat ataupun reaksi terhadap makanan di dalamnya terutama reaksi dengan asam, yaitu dengan cara melapisinya dengan Enamel. Dan biasanya enamel yang dipakai adalah campuran dari Oleoresin Seng Oksida (ZnO). Oleh karenanya logam timah (Sn) dipilih sebagai bahan dasar pembentuk kaleng karena relatif tidak beracun dan menambah daya tarik kemasan karena berkilat dan tahan karat.
 Metode Pemilihan
Daur Ulang Limbah Kaleng
Daur-ulang (yang dimaksud di sini adalah reuse dan recycling) limbah pada dasarnya telah dimulai sejak lama. Di Indonesia pun, khususnya di daerah pertanian, masyarakat sudah mengenal daur ulang limbah. Dalam sistem pengelolaan persampahan, upaya daur-ulang memang cukup menonjol, dan umumnya melibatkan sektor informal. Beberapa alasan mengapa daur-ulang mendapat perhatian:
Alasan ketersediaan sumber daya alam: beberapa sumber daya alam bersifat dapat terbarukan dengan siklus yang sistematis, seperti siklus air. Yang lain termasuk dalam katagori tidak terbarukan, sehingga ketersediaannya di alam menjadi kendala utama. Berdasarkan hal itu, maka salah satu alasan daur-ulang adalah ketersediaan sumber-daya alam.
Alasan nilai ekonomi: limbah yang dihasilkan dari suatu kegiatan ternyata dapat bernilai ekonomi bila dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan tersebut dapat dalam bentuk pemanfaatan enersi, atau pemanfaatan bahan, baik sebagai bahan utama ataupun sebagai bahan pembantu.
Alasan lingkungan: alasan lain yang akhir-akhir mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap lingkungan. Komponen limbah yang dibuang ke lingkungan dalam banyak hal mendataangkan dampak negatif pada lingkungan dengan pencemarannya. Pengolahan limbah akan menjadi kewajiban. Namun bila dalam upaya tersrebut dapat pula dimanfaatkan nilai ekonomisnya, maka hal tersebut akan menjadi pilihan yang cukup menarik.
Dalam beberapa hal alasan-alasan tersebut saling terkait sama yang lain dan saling mendukung, sehingga upaya daur-ulang menjadi lebih terarah dan menarik.Bentuk lain pemanfaatan limbah dalam daur-ulang adalah kemungkinannya sebagai sumber enersi. Paling tidak terdapat dua bentuk enersi hasil daur- ulang yang telah biasa dijumpai di lapangan, yaitu: Sebagai enersi panas seperti yang dikeluarkan dari sebuah insinerator dengan bahan bakar limbah bernilai kalor tinggi,sebagai enersi kimia seperti yang dikeluarkan dari sebuah reaktor anaerob atau sebuah landfill l limbah organic seperti sampah, yaitu dalam bentuk gas metan.
Kemungkinan lain dari pemanfaatan limbah misalnya sebagai sumber protein atau bahan lain, baik dengan rekayasa yang sistematis seperti dalam pembuatan alkohol, maupun sebagai bahan makanan. Sebagai bahan makanan pendekatan ini telah banyak digunakan di Indonesia, khsususnya dari limbah yang berkatagori organik, misalnya sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing.
Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang biasa didaur-ulang. Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus mengalami proses terlebih dahulu untuk menjadi bahan baku baru. Bahan buangan ini banyak dijumpai, dan biasanya merupakan bahan pengemas produk. Bahan inilah yang pada tingkat konsumen kadang menimbulkan permasalahan, khususnya dalam pengelolaan sampah kota. Di negara industri, aplikasi pengemas yang mudah didaur-ulang akan menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan nilai saing produk tersebut di pasar. Sebenarnya sampah mempunyai potensi untuk didaur-ulang. Proses daur ulang harus memperhatikan komposisi dan karakteristik limbah yang dominan, terutama bila daur ulang dilakukan di tempat pembuangan akhir. Hal lain yang mempengaruhi adalah ketersediaan tenaga operasional agar proses berkelanjutan. Proses daur ulang juga dilakukan di sumber timbulan dan tempat penampungan sementara, atau pada skala kawasan. Daur ulang yang dilakukan di sumber maupun penampungan sementara atau di skala kawasan, dapat meminimalkan biaya pengangkutan ke pembuangan akhir.
Proses daur-ulang pada umumnya membutuhkan rekayasa dalam bentuk:
Pemisahan dan pengelompokan: yaitu untuk mendapatkan limbah yang sejenis. Kegiatan ini dapat dilaksanakan secara manual (dilakukan dengan tangan manusia secara langsung) maupun secara mekanis (dilakukan oleh mesin).
Pemurnian: yaitu untuk mendapatkan bahan/elemen semurni mungkin, baik melalui proses fisik, kimia, biologi, atau termal.
Pencampuran: yaitu untuk mendapatkan bahan yang lebih bermanfaat, misalnya sejenis limbah dicampur dengan limbah lain atau dengan bahan lain.
Pengolahan atau perlakuan: yaitu untuk mengolah buangan menjadi bahan yang siap pakai.
Sasaran utama dari rekayasa tersebut adalah bagaimana mendapatkan bahan yang sebaik mungkin sesuai fungsi dari bahan daur-ulang tersebut. Upaya pertama daur-ulang adalah bagaimana memisahkan limbah di sumbernya, yang sebetulnya merupakan kegiatan yang mudah dilaksanakan. Beberapa contoh di bawah ini merupakan cara dan bentuk daur-ulang.
Banyak pengolahan limbah (padat, cair dan gas) menghasilkan residu seperti sludge atau debu, atu residu lain, yang pada gilirannya harus ditangani lebih lanjut. Kadangkala limbah yang terbentuk tersebut, seperti sludge, menjadi bermasalah karena berkatagori sebagai limbah berbahaya.


Jumat, 07 November 2014

STRATEGI PENGOLAHAN LIMBAH JERAMI DI AREAL PERSAWAHAN

STRATEGI PENGOLAHAN LIMBAH JERAMI DI AREAL PERSAWAHAN

I.          PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang
Sejarah penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian. Penggunaan pupuk organik diperkirakan sudah dimulai sejak permulaan manusia mengenal bercocok tanam, yaitu sekitar 5.000 tahun yang lalu. Bentuk primitif dari penggunaan pupuk dalam memperbaiki kesuburan tanah dimulai dari kebudayaan tua manusia di daerah aliran sungai-sungai Nil, Euphrat, Indus, Cina, dan Amerika Latin.
Di Indonesia, pupuk organik sudah lama dikenal para petani. Penduduk Indonesia sudah mengenal pupuk organik sebelum diterapkannya revolusi hijau. Setelah revolusi hijau, kebanyakan petani lebih suka menggunakan pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah, dan mudah diperoleh.
Kebanyakan petani sudah sangat tergantung pada pupuk buatan, sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian. Tumbuhnya kesadaran para petani akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Meskipun demikian, agar kuantitas produksi tetap terjaga maka penggunakan pupuk anorganik tetap dianjurkan untuk digunakan secara berimbang.
Salah satu potensi bahan pupuk organik yang sangat melimpah di indonesia adalah jerami padi. Dengan luas areal persawahan yang sangat luas, maka sangat dimungkinkan limbah jerami menjadi bahan baku utama dalam pembuatan pupuk organik.

B.        Masalah
Salah satu perlakuan terhadap jerami padi yang umum dilakukan oleh petani setelah musim panen adalah dengan cara dibakar. Kegiatan ini seakan sudah menjadi rutinitas tahunan bagi sebagian besar petani padi di indonesia. Meskipun di beberapa tempat sudah banyak yang memanfaatkan sebagai pakan ternak, tetapi di daerah yang masih sangat terbatas jumlah ternaknya, membakar jerami meruapakan salah satu kegiatan yang menjadi pemandangan umum. Tentunya banyak masalah yang ditimbulkan dari aktivitas membakar jerami, diantaranya adalah merusak lingkungan, pencemaran udara yang pada akhirnya mempercepat pemanasan global.
Jarak adalah merupakan salah satu kendala bagi petani untuk mengolah limbah jerami padi menjadi pupuk organik. Oleh karena itu, maka salah satu solusi dalam rangka mengatasi pembakaran jerami sekaligus meminimalisir penggunaan tenaga dalam pengolahan jerami, maka pengolahan limbah jerami menjadi pupuk organik dilahan persawahan sangatlah dibutuhkan.

C.        Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang strategi pengolahan limbah jerami di areal persawahan.

D.        Ruang Lingkup
Ruang lingkup bahasan dalam tulisan ini akan membahas strategi/cara membuat pupuk organik dengan memanfaatkan limbah pertanian yang ada di wilayah produksi pertanian.

II.        Membangun Mindset Petani dalam Mengolah Limbah Pertanian
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan. Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi.
Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan perkebunan.
Limbah pertanian yang paling banyak dihasilkan oleh petani, khsusnya di Indonesia adalah jerami padi, jagung dan kacang-kacangan. Meskipun melimpah, limbah ini belum mampu diolah secara maksimal oleh petani. Bahkan terkadang petani kebingungan dalam mencari solusi penanganan limbah setelah musim panen. Ahirnya solusi yang sering dilakukan oleh petani adalah membakar limbah-limbah tersebut. Padahal dengan melakukan pembakaran limbah, sesungguhnya petani telah mengalami kerugian karena unsur hara yang terdapat di dalam sisa pertanaman tidak bisa dimanfaatkan untuk dikembalikan ke dalam tanah tempat petani melakukan budidaya pertanian.Padahal dengan introduksi teknologi sederhana, sesungguhnya limbah-limbah tersebut sudah dapat diolah menjadi pupuk organik tanpa harus mengeluarkan banyak biaya. Tapi kenapa petani jarang yang melakukan pengolahan limbah menjadi pupuk organik, khususnya di tempat di mana mereka bercocok tanam?
Ada banyak faktor yang berpengaruh sehingga petani tidak melakukan pengolahan limbah pertaniannya, diantaranya adalah :
1) Petani tidak memahami manfaat limbah pertanian.
Selama ini petani selalu berinteraksi dengan berbagai jenis limbah pertanian dalam kehidupannya. Namun demikian, mereka sangat jarang memikirkan manfaat yang bisa diperoleh dari limbah tersebut. Mereka hanya menganggap bahwa limbah tersebut hanyalah sampah yang harus dihilangkan karena mengganggu proses budidaya pertanian. Oleh karena itu, jalan pintas yang umum dilakukan adalah membakar limbah-limbah tersebut menjelang pengolahan tanah. Lalu apa yang harus dilakukan oleh aparat pemerintah, khususnya para penyuluh?
Memberi bimbingan kepada petani adalah salah satu solusinya. Tentunya sebelum melakukan pembinaan kepada petani, penyuluh harus memahami lebih dahulu manfaat limbah pertanian dan cara pengolahannya.
2) Petani tidak mengetahui cara mengolah limbah pertanian
Tidak mengetahui cara mengolah limbah pertanian merupakan salah satu persoalan yang banyak terjadi di masyarakat, khususnya petani. Oleh karena itu penyuluh pertanian harus memiliki kemampuan untuk mengolah limbah pertanian menjudi pupuk organik. Dengan demikian diharapkan bisa memberikan solusi kepada petani dengan contoh yang tepat dalam pengolahan limbah pertanian.
3) Petani malas melakukan pengolahan limbah pertanian
Sudah menjadi tradisi bahwa salah satu penyakit masyarakat adalah sikap malas. Penyakit ini juga banyak dialami oleh para petani di negeri ini. Karena sudah terbiasa dengan hal-hal yang bersifat instant, khususnya dalam penggunanaa pupuk, maka petani seringkali malas menggunakan pupuk organik karena dianggap tidak bisa memperlihatkan hasil secara cepat. Akbitnya adalah petani malas mengolah limbah pertaniannya menjadi pupuk organik. Jangankan untuk menggunakan pupuk organik dari hasil olahan sendiri, terkadang menggunakan pupuk organik bersubsidi pun petani banyak mengeluh, khususnya dalam hal pengangkutan ke sawah dan lambatnya reaksi terhadap pertanaman.
4) Pengolahan limbah secara modern yang selama ini banyak diperkenalkan ke masyarkat terkesan sulit untuk dilakukan.
Selama ini metode yang banyak diperkenalkan kepada masyarakat dalam mengolah limbah pertanian bersifat semi modern. Artinya pengolahan limbah yang menggunakan mesin sederhana untuk membantu pengecilan ukuran bahan organik agar lebih mudah dalam proses penguraian. Akibatnya adalah dalam benak petani tertanam pemikiran bahwa untuk mengolah limbah menjadi pupuk organik harus tersedia mesin pencacah terlebih dahulu. Jika pemikiran ini sudah menjadi mindset petani, maka dapat dipastikan bahwa alasan pertama yang akan mereka sampaikan ketika diminta mengolah limbah pertanian adalah “tidak punya mesin pencacah”. Meskipun saat ini banyak mesin pencacah yang diberikan dalam bentuk hibah ke petani, tetapi hal ini sering kali tidak memberikan solusi dalam pengolahan limbah pertanian. Disamping keterbatasan dana pemerintah yang tidak sebanding dengan jumlah petani, membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberadaan pupuk organik dalam proses budidaya pertanian harus lebih diutamakan dalam rangka membangun mindset petani bahwa sesungguhnya mereka yang sangat membutuhkan pupuk organik. Jika mindset ini sudah terbangun, maka ada bantuan atau tidak, petani akan tetap membuat pupuk organik, baik dengan mesih pencacah atau mencacah secara manual.
5) Petani tidak memahami manfaat pemberian pupuk organik pada tanah
Ketika petani tidak memahami manfaat pemberian pupuk organik pada tanah, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan acuh tak acuh dalam menggunakan pupuk organik. Sehingga menjadi salah satu fondasi yang harus dibangun dalam rangka mensukseskan penggunaan pupuk organik di kalangan petani adalah memberikan pemahaman pentingnya penggunaan pupuk organik dalam perbaikan unsur hara tanah. Jika tanah sudah memiliki unsur hara yang memadai, maka dengan introduksi teknologi yang sederhanapun, produksi pertanian akan meningkat.

III.       Membuat Pupuk Organik di Wilayah Produksi Pertanian
Saat ini masih sangat jarang dilakukan pengolahan limbah pertanian di wilayah produksi (baca lahan produksi) pertanian. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan sumberdaya, khususnya sumberdaya manusia. Beberapa lahan pertanian yang potensial untuk dilakukan pengolahan limbah secara langsung adalah :
1) Pengolahan limbah jerami padi di lahan sawah
2) Pengolahan limbah jerami jagung di lahan pertanaman
3) Pengolahan limbah kacang-kacangan di lahan pertanaman

Berikut ini akan dijelaskan cara mengolah pupuk organik di wilayah produksi pertanian, khususnya pada lahan sawah.
Cara pengolahan limbah jerami padi di lahan sawah
Bahan : jerami padi, kotoran ternak, air, arang sekam, aktivator/dekomposer, air gula
Peralatan : gembor/ember, gayung.
Cara membuat :
1) Membuat bak fermentasi dari bambu. Ukuran bak fermentasi disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu berapa banyak bahan yang akan diolah.

Gambar 1. Bak fermentasi yang terbuat dari bambu

2) Pengecilan ukuran bahan.
Saat panen, umumnya petani sudah menggunakan power trheser. Jerami yang yang dihasilkan dari hasil olahan mesin power trheser saat panen sudah memiliki ukuran yang kecil. Oleh karena itu jerami ini sudah dapat diolah menjadi pupuk organik meskipun tidak diperkecil lagi. Jika tidak menggunakan mesin power trheser saat panen, maka jerami padi dapat diolah secara manual.
Pengecilan ukuran bahan berfungsi untuk mempercepat proses pelapukan/penguraian.
3) Mencampur air, aktivator, dan air gula. Adapun komposisinya adalah :
Aktivator : 10-20cc
Air gula/mollases :5-10 cc
Air : 10 liter
Bahan tersebut dimasukkan ke dalam ember/gembor lalu diaduk hingga bercampur secara merata, kemudian disiramkan pada bahan.
4) Menyiram bak fermentasi
Sebelum bahan disusun pada bak fermentasi, sebaiknya disiram terlebih dahulu dengan air yang sudah dicampur dengan aktivator dan mollase. Penyiraman ini berfungsi agar pada bagian dasar tempat fermentasi sudah terdapat mikroba pengurai.

Gambar 2. Menyiram bak fermentasi

5) Memasukkan bahan ke bak fermentasi
Saat memasukan bahan ke bak fermentasi sebaiknya disusun secara berlapis dengan bentuk susunan sebagai berikut :
a) Masukkan kotoran ternak pada bagian paling bawah dengan ketebalan 3cm, lalu siram dengan air yang sudah dicampur dengan aktivator.
b) Masukkan jerami pada lapis ke dua dengan ketebalan 10 cm, lalu siram dengan air yang sudah dicampur dengan aktivator.
c) Masukkan kotoran ternak pada lapis ke 3 ketebalan 5 cm, lalu siram dengan air yang sudah dicampur dengan aktivator.
d) Lakukan pengulangan pada poin b) hingga tinggi tumpukan mencapai 0,5 – 1 m. Setelah tumpukan mencapau 1 meter, maka simpanlah arang sekam pada bagian atas tumpukan, lalu siram dengan air yang sudah dicampur dengan aktivator.

Gambar 3. Penyiraman bahan dengan air yang sudah dicampur aktivator

6) Lepas bak fermentasi
Gambar 4. Bahan yang sudah siap difermentasi

7) Tutuplah bahan dengan menggunakan terpal atau karung goni.
Gambar 5. Menutup Bahan dengan plastik
Demikianlah cara membuat pupuk organik khususnya di lahan produksi pertanian. Cara ini tergolong lebih mudah dibandingkan petani harus mengankut jerami dari sawah untuk kemudian diolah ditempat khusus. Keuntungan lainnya dari pengolahan langsung di lahan pertanian adalah petani dapat langsung mengaplikasikan setiap menjelang musim tanam tanpa harus memikirkan biaya angkut.

IV.       PENUTUP
A.        Kesimpulan
1) Dalam rangka membangun pertanian yang berkelanjutan, maka hal utama yang harus dibangun adalah mindset petani terkait pentingnya penggunaan pupuk organik.
2) Mengolah limbah pertanian menjadi pupuk organik dapat dilakukan di tempat di mana limbah tersebut dihasilkan sehingga akan lebih memudahkan petani dalam pengolahan dan pemanfaatan limbah pertanian.

B. Saran
1) Sebaiknya penyuluhan tentang pentingnya peranan pupuk organik terhadap lahan persawahan perlu terus ditingkatkan. Dalam memberikan penyuluhan kepada petani, sebaiknya disampaikan proses kerja pupuk organik yang lambat dalam memperlihatkan hasil tetapi dalam jangka panjang akan bermanfaat dalam meningkatkan produksi pertanian.

2) Sebaiknya digalakkan pengolahan limbah pertanian di lahan produksi pertanian sehingga memudahkan petani untuk mengolah dan memanfaatkan limbah pertanian.

Senin, 03 November 2014

METODE PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL (PROSEDUR)

Dalam mengolah air limbah tekstil, dilakukan 3 proses, yaitu:
Proses Pre-Treatment : Proses ini bertujuan mengkondisikan karakteristik air limbah yang akan diolah, mulai dari : penyaringan partikel kasar, penghilangan warna (decolouring), equalisasi (penyeimbangan debit), penyaringan halus, dan penyesuaian suhu.
Proses Primer : Dalam proses ini dilakukan main treatment (pengolahan utama), bisa secara biologis dan diikuti proses pengendapan (sedimentasi).
Proses Sekunder : Proses ini merupakan tahap lanjutan proses biologi dan sedimentasi dalam rangka mempersiapkan air limbah olahan memasuki badan air penerima, sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan.
Proses Pre-Treatment
a) Penyaringan partikel kasar
Tujuan dari tahap penyaringan partikel kasae ini adalah menahan sisa benang dan kain yang memungkinkan ada dalam aliran air limbah. Saringan kasar ini berdiameter 50-20 mm. Air limbah yang tidak berwarna bias lanjut ke tanki berikutnya, sementara air limbah yang berwarna spesifik harus melalui proses decolouring terlebih dahulu
b) Penghilangan warna (decolouring),
Fitriani(2012) mengatakan bahwa
“Air limbah yang berwarna akan mengalami koagulasi dengan koagulan khusus (biasanya FeSO4 – Ferro sulphate, konsentrasi = 600-700 ppm) untuk mengikat warna, lalu air limbah mengalami penyesuaian pH dengan penambahan kapur (lime, konsentrasi = 150-300 ppm) akibat pencampuran koagulan Ferro Sulphate sebelumnya. Dan kemudian air limbah masuk ke tangki flokulasi dengan penambahan polymer (konsentrasi = 0,5-0,2 ppm) sehingga terbentuk flok-flok yang dapat mengendap dalam tangki sedimentasi.”
c) Penyesuaian suhu
Penyesuaian suhu air limbah dari pencelupan/pencapan mutlak dilakukan dalam Cooling Tower. Karakteristik limbah produksi tekstil umumnya bersuhu 350-400oC, sehingga Cooling Tower dibutuhkan untuk menurunkan suhu agar kerja bakteri (proses biologis) dapat optimal.
Proses Primer
a) Proses Biologis
Apabila digunakan proses biologis sebagai proses primer pengolahannya, beberapa proses yang terbukti efektif antara lain : lumpur aktif, laguna aerob, dan parit oksidasi. Hal ini disebabkan karena sistem dalam bak aerasi ini berjalan dengan laju aliran rendah dan penggunaan energi rendah sehingga biaya operasi dan pemeliharaanpun rendah. Untuk memperoleh BOD, COD, DO, Jumlah Padatan Tersuspensi, Warna dan beberapa parameter lain dengan kadar yang sangat rendah, telah digunakan pengolahan yang lebih unggul yaitu dengan menggunakan Karbon Aktif, Saringan Pasir, Penukar Ion dan Penjernihan Kimia. Parameter-parameter tersebut dijaga kestabilannya sehingga penguraian polutan dalam limbah oleh bakteri dapat maksimal. Adapun DO, MLSS dan Suhu yang dibutuhkan bakteri pengurai adalah 0,5-2,5 ppm, 4000-6000, dan 290-300oC.
b) Proses Sedimentasi,
Bak sedimentasi didisain sedemikian rupa untuk memudahkan proses pengendapan partikel dalam air. Biasanya mempunyai bentuk bundar di bagian atas dan konis/kerucut di bagian bawah. Desain ini untuk mempermudah pengeluaran endapan lumpur di dasar bak. Sistem return sludge cukup optimal dilakukan pada pengolahan limbah, sehingga sebagian besar sludge akan dikembalikan ke bak aerasi. Pemantauan ketinggian endapan lumpur dari permukaan air dan MLSS selalu dilakukan.
Proses Sekunder
Proses ini merupakan tahap lanjutan proses biologi dan sedimentasi dalam rangka mempersiapkan air limbah olahan memasuki badan air penerima, sesua dengan baku mutu yang ditetapkan. Beberapa parameter yang dicek pada outlet bak sedimentasi menjadi tolok ukur boleh tidaknya air limbah olahan ini dibuang ke badan air penerima. Beberapa kasus memerlukan penambahan Aluminium sulphate Al2(SO4)3 konsentrasi 150-33 ppm, Polymer konsentrasi 0,5-2,0 ppm dan Antifoam (silicon base) untuk mengurangi padatan tersuspensi yang masih terdapat dalam air.
Pemanfaatan limbah industry tekstil dapat berupa:
1. Industri tekstil tidak banyak menghasilkan banyak limbah padat. Lumpur yang dihasilkan pengolahan limbah secara kimia adalah sumber utama limbah pada pabrik tekstil. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, sisa minyak dan lateks. Alternatif pemanfaatan sisa kain adalah dapat digunakan sebagai bahan tas kain yang terdiri dari potongan kain-kain yang tidak terpakai, dapat juga digunakan sebagai isi bantal dan boneka sebagai pengganti dakron.
2. Lumpur dari pengolahan fisik atau kimia harus dihilangkan airnya dengan saringan plat atau saringan sabuk (belt filter). Jika pewarna yang dipakai tidak mengandung krom atau logam lain, lumpur dapat ditebarkan diatas tanah.
Andaikan semua instalasi pengolah limbah dapat berjalan sesuai fungsinya, air yang diolahnya dapat dibuang ke badan air penerima sesuai baku mutunya, niscaya kelestarian badan air penerima di sekitar wilayah industry akan terjaga sehingga daya dukung lingkungan pun terjaga.
Andinurina. 2012. Pencemaran Air Karna Limbah Industri. Artikel.


EVALUASI LIMBAH INDSUTRY TEKSTIL

Jenis dan Penggolongan Limbah Industri Tekstil (EVALUASI)
Pencemaran lingkungan akibat industry tekstil adalah berupa pencemaran debu yang dihasilkan dari penggunaan mesin berkecepatan tinggi dan limbah cair yang berasal dari tumpahan dan air cucian tempat pencelupan larutan kanji dan proses pewarnaan. Zat warna tekstil merupakan gabungan dari senyawa organic tidak jenuh, kromofor, dan auksokrom sebagai pengaktif kerja kromofor dan pengikat antara warna dengan serat. Kandungan limbah yang dihasilkan dari proses pewarnaan tergantung pada pewarna yang digunakan. Limbah-limbah yang dihasilkan suatu industry, akan dialirkan ke kolam-kolam penampungan dan selanjutnya dibuang ke sungai. Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses pengkanjian, penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan.
Andinurina (2012) mengatakan bahwa
“Gabungan air limbah pabrik tekstil di Indonesia rata-rata mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD. Perbandingan COD : BOD adalah dalam kisaran 1,5:1 sampai 3 : 1. Pabrik serat alam menghasilkan beban yang lebih besar. Beban tiap ton produk lebih besar untuk operasi kecil dibandingkan dengan operasi modern yang besar, berkisar dari 25 kg BOD/ton produk sampai 100 kg BOD/ton. Informasi tentang banyaknya limbah produksi kecil batik tradisional belum ditemukan.”
Jenis-jenis limbah :
1. Logam berat terutama As, Cd, Cr, Pb, Cu, Zn.
2. Hidrokarbon terhalogenasi (dari proses dressing dan finishing)
3. Pigmen, zat warna dan pelarut organic
4. Tensioactive (surfactant)
Terjadinya pencemaran air, akan menggangu kehidupan ikan-ikan yang ada di dalamnya, menurunnya kualitan perairan, sehingga daya dukung perairan tersebut terhadap organisme akuatik yang hidup di dalamnya akan turun. Masalah pencemaran air menimbulkan berbagai akibat, baik yang bersifat biologic, fisik maupun kimia.
Penggolongan Zat Warna
Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik.Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif.Kemudian Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian menurut warna yang ditimbulkannya, yakni zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu warna dan zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna. Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi (struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan, misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahan-bahan lain.
Penggolongan zat warna menurut “Colours Index” volume 3, yang terutama menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda misalnya zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin, Polimetil, Di- dan Tri-Aril Karbonium, Poliksilik, Aromatik Karbonil, Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain.
Zat warna Azo merupakan jenis zat warna sistetis yang cukup penting. Lebih dari 50% zat warna dalam daftar Color Index adalah jenis zat warna azo. Zat warna azo mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N-) yang berikatan dengan gugus aromatik. Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah, jingga, biru AL (Navy Blue), violet dan hitam, hanya warna hijau yang sangat terbatas.
Penggolongan lain yang biasa digunakan terutama pada proses pencelupan dan pencapan pada industri tekstil adalah penggolongan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaan). Zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai zat warna asam, basa, direk, dispersi, pigmen, reaktif, solven, belerang , bejana dan lain-lain.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa tiap-tiap jenis zat warna mempunyai kegunaan tertentu dan sifat-sifatnya tertentu pula. Pemilihan zat warna yang akan dipakai bergantung pada bermacam faktor antara lain : jenis serat yang akan diwarnai, macam wana yang dipilih dan warna-warna yang tersedia, tahan lunturnya dan peralatan produksi yang tersedia.
Jenis yang paling banyak digunakan saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warnadispersi.Hal ini disebabkan produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat polamida, poliester dan poliakrilat.Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi.Demikian juga untuk zat warna reaktif yang dapat mewarnai bahan kapas dengan baik.
Zat Warna Reaktif
Dalam daftar “Color Index” golongan zat warna yang terbesar jumlahnya adalah zat warna azo, dan dari zat warna yang berkromofor azo ini yang paling banyak adalah zat warna reaktif zat warna reaktif ini banyak digunakan dalam proses pencelupan bahan tekstil.
Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil.Daya serap terhadap serat tidak besar.Sehingga zat warna yang tidak bereaksi dengan serat mudah dihilangkan.Gugus-gugus penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan lat wama terhadap asam atau basa.Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari zat warna yang mudah lepas.Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi dengan serat kain.Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan penambahan alkali atau asam sehingga mencapai pH tertentu.
Disamping terjadinya reaksi antara zat warna dengan serat membentuk ikatan primer kovalen yang merupakan ikatan pseudo ester atau eter, molekul air pun dapat juga mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna, dengan memberikan komponen zat warna yang tidak reaktif lagi. Reaksi hidrolisa tersebut akan bertambah cepat dengan kenaikan temperatur.
Selulosa mempunyai gugus alkohol primer dan sekunder yang keduanya mampu mengadakan reaksi dengan zat warna reaktif.Tetapi kecepatan reaktif alkohol primer jauh lebih tinggi daripada alkohol sekunder.Mekanisme reaksi pada umumnya dapat digambarkan sebagai penyerapan unsur positif pada zat warna reaktif terhadap gugus hidroksil pada selulosa yang terionisasi.Agar dapat bereaksi zat warna memerlukan penambahan alkali yang berguna untuk mengatur suasana yang cocok untuk bereaksi, mendorong pembentukan ion selulosa dan menetralkan asam-asam hasil reaksi
Fitriani. 2012. Pengolahan Limbah Pabrik Tekstil dan Catid. Artikel.